Iklan — Scroll Untuk Baca Artikel Kami
Example 325x300
Example floating
Example floating
Politik

Politisi PPP Ini Tanggapi Rencana Penghapusan Tenaga Honorer

×

Politisi PPP Ini Tanggapi Rencana Penghapusan Tenaga Honorer

Sebarkan artikel ini
klikkiri.co
Ramli Rewa.
Example 325x300

Anggota DPRD Kabupaten Gowa dari Fraksi PPP Ramli Rewa menanggapi rencana pemerintah pusat menghapus tenaga honorer.

 

Iklan — Scroll Untuk Baca Artikel
Example 300x600
Iklan — Scroll Untuk Baca Artikel

Menurutnya ini sangat berkaitan dengan hak orang banyak. Sehingga perlu untuk dipertimbangkan secara matang demi menghindari pelanggaran atas hak honorer.

 

“Pemerintah perlu melihat ini dari aspek kemanusiaannya dan juga harapan-harapan tenaga honorer agar terakomodir nantinya,” katanya saat dihubungi.

 

Ia meminta agar pemerintah segera mencari formulasi yang benar dan berkeadilan demi menjaga hak tenaga honorer yang jumlahnya tak sedikit.

 

Responsnya soal HKPN

 

Dia juga ikut menanggapi terkait kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

 

Ramli Rewa menilai peraturan pemerintah (PP) harusnya melihat perspektif pemerintah daerah yang berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga pemerintah pusat sebaiknya tidak melihat kondisi pemerintah daerah yang ada di Pulau Jawa, sebab beberapa pemerintah daerah lainnya akan kesulitan jika menerapkan aturan tersebut.

 

“Kebijakan yang akan diterapkan dalam aturan ini akan sulit untuk dilaksanakan di daerah seperti terkait batasan belanja pegawai dan belanja mandatory.  Misalnya pada belanja pegawai yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 30 persen. Aturan ini tentunya sangat berat untuk daerah ikuti, apalagi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) masuk dalam komponen belanja pegawai,” terangnya saat di hubungi klikkiri.co (7/7/2022).

 

Dia menambahkan bahwa APBD daerah yang besar hingga 40 miliar mungkin tidak masalah dengan 30 persen namun bagaimana dengan daerah yang mengharap dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Kondisi inilah juga ditambah dengan beban P3K yang oleh kebijakan pusat penganggarannya diserahkan ke pemerintah daerah. Belum lagi dengan rencana penghapusan honorer menjadi P3K atau outsourching, kondisi ini akan menambah anggaran belanja pegawai.

 

Pihaknya memberikan saran agar dalam PP tersebut perlu dibuatkan klasifikasi daerah terkait belanja pegawai ini. Daerah yang APBD dan PAD kuat boleh di angka 30 persen namun untuk daerah yang masih mengandalkan TKDD ini perlu dibuatkan aturan main khusus terkait belanja mandatory yang menstandarkan biaya infrastruktur sebesar 40 persen juga menjadi kendala di pemerintah daerah.

 

“Belanja infrastruktur dari 20 persen menjadi 40 persen kendala bagi pemda. Jika belanja pegawai 30 persen ditambah lagi kewajiban mengalokasikan pendidikan 20 persen kesehatan 10 persen, dana desa 10 persen dana, kelurahan 5 persen dan BPJS, maka alokasi dana saja sudah lebih dari 100 persen. Sedangkan di daerah masih memiliki 27 SKPD yang membutuhkan anggaran. Olehnya sangat diharapkan pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan juga bisa berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar pedoman penyusunan anggaran disamakan dengan aturan di Kemendagri,” jelasnya.

 

Perlunya pertimbangan lebih lanjut harus dilakukan mengingat mulai 2023 beberapa daerah sudah mulai melaksanakan Pilkades serentak dan 2024 sudah memasuki tahun Pilkada yang semua pembiayaannya menjadi beban anggaran daerah. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk menyesuaikan dengan mandatory.

 

Penulis: Arsyi Wahab/Aldi

Example 325x300
Example 120x600
Example 325x300