Oleh: Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar
Saya bukan dokter, dan pertama kali dalam hidup saya dikerumuni oleh para dokter. Tepatnya pada suasana pengambilan sumpah para dokter pada Prodi Kedokteran UIN Alauddin Makassar.
Tak hentinya saya menyampaikan rasa bangga pada acara tersebut, bangga melihat keharumannya, bangga melihat para orangtua dokter yang sumringah, bangga melihat anak-anak dokter yang antusias mengikuti prosesi penyumpahan.
Tak hentinya saya memuji pencapaian ini. Sebagai produk panjang dari perjalanan UIN alauddin, sejak menjadi IAIN sampai bertransformasi menjadi Universitas, bahkan sampai 10 tahun yang lalu, tidak terbersit sedikitpun di benak saya, bahwa Alauddin akan mencetak dokter.
Saat itu tidak terbersit dalam sudut-sudut hati saya sekalipun, bahwa Alauddin akan menorehkan lompatan dengan melahirkan dokter yang menyelesaikan studinya hanya dalam kisaran lima setengah tahun, yang dianggap sebagai waktu penyelesaian yang tak lazim ditemukan pada banyak studi kedokteran.
Saat itu tak tersenggol dalam benak saya bahwa Alauddin berhasil menyiapkan rombongan peserta uji kompetensi profesi dokter, dari 28 orang yang ikut, 26 berhasil menjadi “first takers”. Bangunan persepsi yang melekat di benak saya pun tentang studi kedokteran terbongkar oleh penyumpahan dokter hari ini. Proyek integrasi keilmuan yang kami terapkan di kampus kami, semakin memberi dampak. Saat acara penyumpahan, dari mereka semua lah yang mengambil peran, mulai dari pembacaan ayat suci sampai pada pembacaan doa.
Ada salah seorang lulusan yang bernama dr. Edward, Dokter yang hafidz 30 juz. Saat saya mengalungkannya medali kelulusan, saya bisikkan ke telinganya, “kamu akan punya banyak mantra penyembuhan.” “Kamu akan memiliki pola terapi khusus sebelum jarum suntikmu mendarat.”
Itulah mimpi kami sejak kedokteran Alauddin mulai beroperasi, mimpi para penggagasnya, para Rektor dan pimpinan sebelumnya, yang berjibaku menghadirkan studi kedokteran di sebuah Perguruan Tinggi yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.
Obsesi menghadirkan luaran sebagai “dokter plus” yang “gejala awalnya” sudah saya deteksi pada acara penyumpahan mereka. Ada tekad menghadirkan dokter yang bukan hanya fasih membaca kode etik kedokteran, tetapi sadar akan kode etik Ke UIN-an dan terlebih lagi, kode etik kemanusiaan.
Satu lagi yang tak terpikirkan oleh dangkalnya penalaran saya. Tak terlintas kalau Kedokteran UIN Alauddin mampu mandiri dalam mengelola SDMnya dan mengembangkan kurikulumnya sejak awal berdirinya. Tentu pencapaian ini tidak hadir dari ruang kosong.
Dalam kaitan dengan kemandirian ini, Kedokteran UIN Alauddin patut berterima kasih kepada Dr. dr. Andi Armyn yang menjadi dekan pertama saat kedokteran mulai beroperasi dan tentunya suhu kedokteran lainnya di Makassar yang menanamkan jiwa kemandirian ini dalam pengelolaan operasionalnya. Itulah saat saya berdiri di podium acara penyumpahan mereka, saya gaungkan kepada para dokter ini, “di dalam nadi kalian, mengalir deras darah kemandirian, dan karenanya teruslah mengalirkan modal sosialnya itu dalam mengarungi profesi kalian.”
Yang saya maksud sebagai dokter plus bukan yang suka cengeng, sering sensi, hobby baper, apalagi yang suka tinggalkan “group”. Dokter plus adalah dokter yang tahan banting, menjunjung kolaborasi, visi keumatannya jelas, dan trek pengabdiannya pada bangsa sangat terukur. Lebih dari itu, ciri utama dokter plus adalah menjadi buruan bagi para calon mertua. (*)