Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan amanat konstitusi sebagai sarana untuk menuangkan hak demokrasi setiap warga negara. Keberlangsungan Pemilu menjadi suatu tolak ukur terhadap kehidupan demokrasi suatu negara, hal itu menjadi dasar dalam proses penentuan pemimpin di beberapa level di negara demokrasi yakni Legislatif dan Eksekutif. Prinsip Pemilu yang bersih, jujur dan Rahasia harus didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana Pemilu termasuk perangkat pelaksana dan Anggaran pelaksanaan. Itulah yang kemudian menjadi fokus kajian pada tulisan berikut ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Penyelenggara Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberadaan dari KPU sendiri bersifat vital sebagai pelaksana Pemilu yang harus mampu hadir sebagai lembaga yang mengedepankan kepentingan-kepentingan demokrasi di wilayah kerja masing-masing. KPU dipilih dengan seleksi yang ketat untuk menghasilkan anggota yang memiliki integritas kuat.
Selain itu, KPU diberikan fasilitas oleh negara dengan jumlah yang lumayan ‘fantastic’ untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Selain KPU terdapat pula lembaga pengawasan yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas dalam mengawasi tertibnya proses demokrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaan KPU dan Bawaslu di setiap daerah harus menjalin kerjasama yang baik dengan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawab juga pemenuhan hak-hak yakni berupa dukungan anggaran dari pemerintah daerah dalam bentuk Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang diberikan kepada KPU dan Bawaslu untuk melaksanakan prosesi Pilkada dan Pileg tingkat Daerah.
Tulisan ini kemudian difokuskan pada studi penerimaan NPHD di daerah-daerah yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sulsel yang terdiri dari 24 Kabupaten/Kota beberapa Minggu lalu telah rampung dalam melakukan proses penandatanganan NPHD kecuali tiga kabupaten yang terjadi beberapa polemik dalam penentuan besaran NPHD yang akan diberikan dari daerah kepada KPU. Tiga daerah tersebut yakni Luwu Utara, Sinjai dan Soppeng yang terlambat jika dibandingkan dengan beberapa Kabupaten/Kota lainnya yang telah terlebih dahulu menyepakati NPHD-nya.
Penentuan NPHD sendiri sesungguhnya telah diatur secara implisit dalam UU No. 10/2016 Jo.UU No. 1/2015 dan UU No. 8/2015 mengenai Pilkada. Pasal 166 Ayat (1) beleid tersebut menyebutkan bahwa Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Skema pendanaan Pilkada tersebut berarti kewenangan alokasi.pendanaan berada di tangan pemerintah daerah dimana pada kondisi tertentu, pemerintah pusat dapat memberikan dukungan anggaran.
Sehingga konsekuensinya anggaran tersebut memiliki variasi tertentu yang cukup dinamis antar daerah tertentu yang pada hakikatnya mendasarkan diri pada kemampuan keuangan daerah masing-masing. Kemampuan keuangan daerah sendiri dapat dilihat dari kemampuan Fiskal Daerah yang berarti kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan daerah tertentu dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan, belanja tertentu, dan pengeluaran pembiayaan daerah tertentu.
Hal itulah yang kemudian menjadi salah satu dasar perhitungan daerah untuk melakukan NPHD dengan KPU dan Bawaslu. Kemampuan Fiskal Daerah sendiri di 24 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan sendiri berdasarkan data dari jdih.kemenkeu.go.id terdiri dari kategori Sangat Rendah (Barru, Bulukumba, Enrekang, Sinjai, Soppeng, Takalar, Wajo dan Palopo), Rendah
(Bantaeng, Bone, Gowa, Jeneponto, Luwu, Luwu Utara, Maros, Pangkep, Pinrang, dan Tanah Toraja), Sedang (Kota Parepare dan Toraja Utara), Sangat Tinggi (Kota Makassar dan Luwu Timur). Kemampuan fiskal tersebut lah yang kemudian menjadi dasar kajian penetapan besaran anggaran daerah yang dapat didistribusikan dalam pelaksanaan Pilkada dalam bentuk NPHD.
Dalam level operasional, mekanisme penyusunan anggaran Pilkada telah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 54/2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang Bersumber dari APBD sebagaimana telah disempurnakan dalam Permendagri No. 41/2020 (penyesuaian akibat adanya bencana pandemi Covid-19). Permendagri ini merupakan pengganti dan penyempurna Permendagri No.44/2015 dan Permendagri No. 51/2015, dan merupakan amanat Pasal 166 Ayat (3) UU No. 10/2016 mengenai Pilkada.
Besaran Nilai NPHD inilah yang kemudian harus dikorelasikan dengan kemampuan fiskal daerah, namun yang kemudian menjadi persoalan adalah terdapatnya beberapa daerah yang kemudian memiliki kemampuan fiskal rendah bahkan sangat rendah malah memberikan nilai NPHD dengan hitung-hitungan jumlah yang jauh lebih besar dari daerah dengan kemampuan fiskal sangat tinggi.
Misalnya saja, untuk nilai NPHD KPU untuk Kota Makassar dengan kategori kemampuan fiskal daerah sangat tinggi dengan jumlah DPT kurang lebih 1 Juta orang hanya mengucurkan 64 M, itu hanya berkisar di angka 64 ribu rupiah untuk setiap DPT dapat diperbandingkan dengan Kabupaten Wajo yang mengucurkan nilai NPHD ke KPU sebesar 45 M dengan jumlah DPT 293 ribu yang berarti 145 ribu rupiah untuk setiap DPT nya, nilai tersebut dua kali lipat jika dibandingkan dengan kota Makassar padahal kemampuan fiskal daerah untuk Wajo berada di kategori sangat rendah.
Ketimpangan tersebut tentunya mengakibatkan terpotongnya beberapa anggaran program pemerintah bahkan sampai pada anggaran tunjangan pegawai yang harus dipotongkan untuk mencukupi nilai NPHD yang disepakati. Alasan salah satunya adalah terkait dengan harga beli barang yang nilainya di atas kota Makassar, namun hal tersebut seharusnya tidak demikian jika melihat situasi terkini bahwa distribusi barang ke seluruh wilayah Sulsel sudah semakin mudah juga akses untuk pengadaan barang dengan harga murah semakin mudah pula dengan dukungan infrastruktur pembangunan yang semakin memudahkan akses untuk melakukan proses-proses demokrasi.
Justru penulis kemudian berpikiran jika nilai NPHD setiap daerah itu harus menjadi bahan perhatian penegak hukum dengan berbagai potensi terjadinya penyimpangan yang disebabkan tidak adanya regulasi tetap terkait besaran NPHD untuk setiap DPT yang dikalkulasikan begitupun dengan indeks daerah dalam menentukan besaran NPHD sesuai dengan tingkat akses dan kebutuhan dalam proses demokrasi. Apa yang kemudian bisa terjadi adalah potensi penyimpangan “kongkalikong” antara pejabat pemerintah daerah dengan KPU setempat yang melakukan penandatanganan NPHD tanpa mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah yang hanya berujung pada kesepakatan-kesepakatan keuntungan pribadi.
Selain itu, pemberian NPHD yang tidak sesuai dengan kemampuan fiskal daerah itu berdampak pada kolaps nya anggaran daerah yang menyebabkan adanya pihak yang dirugikan akibat hal tersebut, misalnya saja untuk memenuhi nilai NPHD maka pegawai kemudian menjadi korban dengan adanya pemotongan nilai TPP yang dialokasikan ke NPHD.
Oleh karena itu, dibutuhkan study khusus dan peraturan yang mengikat terkait indeks tingkat kemahalan harga untuk setiap KPU daerah yang mampu mengatur dan memberikan dasar perhitungan besaran anggaran Pilkada yang dibutuhkan. (*)