Iklan — Scroll Untuk Baca Artikel Kami
Example 325x300
Example floating
Example floating
Hukum

Polda Geledah Pemkot Parepare Pada Juli 2024 Hingga Kini Tak Ada Kejelasan

×

Polda Geledah Pemkot Parepare Pada Juli 2024 Hingga Kini Tak Ada Kejelasan

Sebarkan artikel ini
Klikkiri.co
Mapolda Sulsel / Istimewa / Google.
Example 325x300

klikkiri.co – Penggeledahan Polda Sulsel di Pemkot Parepare dan Dinas Kesehatan Parepare masih dalam tanda tanya besar.

Diketahui, Polda Sulsel melakukan penggeledahan di Ruang Arsip Pemkot Parepare, Dinas Kesehatan Parepare, dan rumah mantan kabag Pembangunan Parepare pada 19 Juli 2024.

Iklan — Scroll Untuk Baca Artikel
Example 300x600
Iklan — Scroll Untuk Baca Artikel

Sudah hampir setahun, penggeledahan tersebut masih tanda tanya besar. Polda Sulsel masih enggan angkat bicara.

Diduga, Polda Sulsel melakukan penggeledahan tersebut untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Kesehatan Parepare 2017-2018.

Dirkrimsus Polda Sulsel Kombes Dedi Supriyadi saat dihubungi FAJAR pada Senin, 3 Februari terkait perkembangan pengembangan kasus korupsi tersebut belum merespons.

Sebelumnya, kasus korupsi ini bergulir pada 2019 lalu yang menyeret nama mantan Kepala Dinas Kesehatan Parepare dr Muh Yamin dan bendaharanya saat itu bernama Sandra.

Aparat penegak hukum (APH) kemudian menemukan dugaan korupsi di Dinkes Parepare, dana tersebut diduga raib sebesar Rp2,9 miliar pada 2018.

Namun belakangan bertambah Rp6,3 miliar sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat itu.

dr Muh Yamin resmi terbukti bersalah melakukan korupsi sehingga dijatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan.

dr Yamin juga diwajibkan mengembalikan uang dikorupsi Rp6,3 miliar subsidair 6 bulan kurungan.

Selanjutnya, Kejari Parepare melakukan penyelidikan dan hasilnya, dua ASN Parepare berinisial Zahrial Djafar dan Jamaluddin ditetapkan menjadi tersangka di kasus tersebut.

Zahrial divonis hukuman 4 tahun dengan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan dan uang pengganti Rp 1,4 miliar subs 2 tahun 3 bulan.

Sementara Jamaluddin, divonis 5 tahun dengan denda Rp 500 juta subs 3 bulan dan uang pengganti Rp 2,3 miliar subs 2 tahun 6 bulan.

Pengamat Hukum Universitas Negeri Makassar Herman menganggap bahwa secara hukum dalam aturan perundang-undangan, pihak kepolisian dalam melakukan penyelidikan kasus korupsi harus cepat dan tepat.

“Harus dipahami bahwa korupsi ini adalah extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang mengakibatkan penderitaan secara masif terutama anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat,” ungkapnya.

Herman juga mempertanyakan jika pihak kepolisian melakukan penggeledahan di Pemkot Parepare terkait kasus korupsi Dinas Kesehatan Parepare yang telah inkrah.

Sehingga, fakta-fakta baru yang terungkap di persidangan itu tentu ada perintah hakim kepada pihak kepolisian harus melakukan penyelidikan untuk menemukan adanya pindak pidana korupsi yang masih terkait dengan objek perkara.

“Atas dasar itulah polisi melakukan penyelidikan dan penyidikan,” jelas Herman.

“Setelah dilakukan penyidikan dan berkasnya sudah cukup (dua alat bukti), maka P21. Dari situ jaksa boleh mengajukan untuk sidang baru yang tidak terkait dengan perkara sebelumnya. Jadi ada dua objek dan perkara yang berbeda. Termasuk subjek hukumnya,” tambah Kaprodi Ilmu Hukum UNM ini.

Herman menegaskan bahwa kasus korupsi itu juga terkait dengan kepentingan keuangan negara yang notabenenya adalah untuk digunakan kembali kepada kemaslahatan utamanya kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat.

“Itu perintah konstitusi di pembukaan di alinea keempat sehingga, kemudian polisi tidak boleh main-main dalam hal penyelidikan terhadap korupsi,” tegas Herman.

Herman mengungkapkan bahwa dalam perintah undang undang dasar itu pemerintah wajib menciptakan kesejahteraan bagaimana kesejahteraan itu tercipta salah satu indikatornya adalah melalui pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawaban keuangan negara.

“Apalagi ini DAK Kesehatan. Kesehatan ini bagian dari hak asasi manusia, maka polisi atas nama hak asasi manusia melindungi kesehatan masyarakat maka wajib hukumnya melakukan penyelidikan dengan serius. Tidak boleh tidak karena itu adalah perintah konstitusi,” ungkapnya.

Menurut Herman, Polda Sulsel juga harus membuka secara lebar informasi terkait kasus korupsi agar masyarakat mengetahui secara transparansi kasus korupsi yang ditangani oleh pihak kepolisian.

“Kasus korupsi itu tidak boleh ditutuptutupi. Harus disiarkan ke masyarakat supaya masyarakat tahu hak konstitusional. Kita semua mengetahui sampai dimana penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terkait dengan keuangan negara,” tuturnya.

“Polisi harus memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat bahwa perkembangan kasus korupsi ini adalah sudah sampai tahap mana, sudah di bagian mana, sudah di proses mana, apakah di penyelidikan atau penyidikan,” lanjut Herman.

Sebelumnya, Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulselbar, Djusman AR menyoroti kasus korupsi DAK Dinas Kesehatan Kota Parepare 2017-2018 yang sedang mandek.

Menurut Djusman, karena tidak ada perkembangan setelah APH melakukan penggeledahan rumah Eks Kabag Pembangunan Kota Parepare dan Kantor Dinas Kesehatan, 19 Juli 2024 lalu.

Djusman membeberkan bahwa memang perkara ini telah berstatus inkrah seperti dalam tuntutan telah divonis bersalah dan dengan beberapa tersangka yang kemudian menjadi berstatus terpidana.

“Namun pada perkembangannya penyidik menemukan fakta baru, maka itu bukan keliru, ini membuktikan untuk dilakukan pengembangan,” tutur Djusman.

Djusman menganggap bahwa penyidik yang telah melakukan upaya hukum dengan melakukan penggeledahan di Pemkot Parepare namun memang menjadi pertanyaan besar karena pengeledahan itu tidak pernah diketahui perkembangannya.

“Sehingga ini yang harus dibuka ke publik,” anggapnya.

Djusman mempertanyakan motif dari penggeledahan tersebut, menurutnya penggeledahan yang dilakukan APH jangan sampai tidak jelas.

“Karena yang kita pahami kan, penggeledahan itu dilakukan tentu karena penyidik berpendapat atau telah menemukan fakta-fakta baru yang belum terbuka pada penanganan perkara sebelumnya yang menyatakan putusan terhadap beberapa orang. Nah inilah yang dituntut oleh publik,” beber Djusman.

Djusman mengungkapkan bahwa memang saat ini belum ada perkembangan kasus tersebut setelah ada upaya melakukan penggeledahan.

“Tidak ada alasan bagi penyidik, khususnya Polda dan sekaligus ini juga menjadi ujian atau tantangan terhadap Kapolda Sulsel yang baru untuk menjawab pertanyaan publik,” ungkapnya.

“Nah, saya selaku pegiat anti korupsi meminta ataupun mendesak penyidik polda atau kapolda untuk menjawab ini,” tegasnya.

Djusman menambahkan, jika memang hasil penggeledahan itu dinyatakan tidak cukup bukti, tetap harus ada kepastian hukum, kalau unsur tidak terpenuhi, hentikan atau jawab atau SP3.

“Namun jika buktinya memang cukup, lanjutkan. Kita tidak ingin, jangan sampai penggeledahan itu dilakukan kurang lebih atau seolah-olah hanya ingin melakukan gertakan (menakut-nakuti),” tambahnya.

“Jadi apapun tindakan hukum yang dilakukan, karena memang kasus ini menarik. Menariknya karana sebelumnya sudah inkrah, tapi kemudian di belakang ada tindakan hukum yang menyusul dan melakukan penggeledahan,” lanjut Djusman.

Djusman berpendapat bahwa kasus ini tidak boleh mandek, sebab ada hak publik untuk mengetahuinya.

“Ini sekaligus menjadi ujian dan tantangan bagi kapolda baru untuk menjawab itu ke ranah publik. Apabila kemudian Kapolda tidak menjawab pertanyaan publik ini, bukan hal keliru jika publik menduga-duga ataupun curiga,” tutupnya.

Example 325x300
Example 120x600
Example 325x300